7:24 PM

(3) Pusat Semesta bernama Nadia

Aku sudah memberitahu bahwa Nadia adalah pusat semestaku. Aku juga sudah bilang bahwa dia adalah pribadi yang kompleks. Cerdas, ceria, suka menyerempet hal-hal yang gila. Seperti ada malaikat dan iblis yang terperangkap dalam hatinya. Detik ini, ia baik luar biasa, tetapi detik berikutnya, Nadia dapat bertingkah super duper membingungkan. Seperti kemarin, ketika detik sebelumnya ia bersikukuh aka pergi ke Malaysia, pada detik berikutnya, ia tiba-tiba menyerahkan keputusannya kepadaku. Tingkah Nadia acapkali absurd. Tidak tertebak gerakan berikutnya. Agar pemahaman kita seragam, tidak ada salahnya apabila aku bercerita sedikit lebih banyak tentang Nadia.

Nadia kecil adalah Nadia yang selalu ingin tahu. Rasa penasaran dan keingintahuannya tumbuh melebihi pertumbuhan fisiknya. Papa dan mamanya sampai kewalahan melandeni pertanyaannya. Ada-ada saja yang ia tanyakan. Nadia kecil juga Nadia yang haus akan pengetahuan. Sumur rasa ingin tahu seolah tergali sangat dalam menghauskan jiwanya. Nadia gemar sekali membaca. Kesukaan membacanya mengantarkan ia mengenal dunia bahkan sebelum ia bisa pergi sendiri ke Malioboro, kawasan paling terkenal di Yogyakarta, tempat Nadia kecil tumbuh. Pela-jaran favoritnya di sekolah adalah Geografi dan sejarah, khususnya bagian yang berisi dunia dan tempat-tempat indah di dunia. Nadia menghafal setiap tempat indah di dunia, menyimpan di kepala kecilnya, dan entah sejak kapan, memimpikan dirinya untuk suatu saat, setidaknya sekali dalam hidupnya, pergi berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Impian yang ternyata tersimpan rapi dalam relung batinnya, menunggu waktu yang tempat untuk diwujudkan.

Nadia betah berlama-lama membaca. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri, menyatu dengan buku-bukunya. Buku adalah sahabat terbaik Nadia. Baginya, buku adalah teman yang sangat setia. Teman yang tidak akan berteriak marah ketika ia acuhkan. Teman yang membimbing dia menguntai impian tanpa ada tatapan sinis meragukan. Buku-buku yang ia baca jugalah yang mengajarinya untuk bermimpi, menciptakan bintangnya, dan menggantungnya tinggi di langit kehidupan. Bintang mimpi paling terang milik Nadia adalah: membaca kitab alam semesta dengan menjelajah dunia.

Nadia kecil tanpa sadar mengajarkan kepada kita bahwa ketika memimpikan sesuatu, dekap mimpi itu dengan segenap jiwa raga. Berjuanglah semaksimal mungkin untuk mewujudkannya, karena begitu mengetahui kesungguhan hati kita, semesta akan berdiri di belakang kita, membantu kita meraih mimpi tersebut. (The Alchemist)

Nadia kecil juga adalah Nadia yang bandel. Pakaian favoritnya tak jauh dari celana pendek berpasangan dengan kaos singlet, simple, tidak ribet. Nadia kecil suka keluyuran menjelajah kampung. Ketika ia pulang, dengan tatapan tanpa dosa, ia akan menyodorkan wajah belepotannya kepada sang mama. Selalu ada oleh-oleh yang ia bawa ketika pulang, lumpur, luka lecet, atau baju sobek. Tapi Nadia kecil tidak pernah menangis. Suatu sore ia pulang dengan luka menganga di lututnya. Mama dibuat kalang kabut. Nadia hanya meringis, tak sekalipun menangis. Apabila sekarang ia tumbuh menjadi gadis dewasa yang kecantikannya membuat iri para gadis seusianya, tentunya sangat tidak disangka apabila di masa kecilnya ia adalah gadis tomboy. Si tukang buat onar, demikian julukan mamanya.

Kesukaannya berpetulang, menetes dari darah sang papa. Sebagai seorang tentara, papa Nadia sering dipindahtugaskan. Nadia kecil tinggal di Yogyakarta hingga ia bersekolah kelas 5 sekolah dasar. Kenangan inilah yang membuatnya selalu berlibur ke Yogya tiap ada kesempatan. Romantisme masa kecil adalah sebuah cermin yang tidak pernah retak, kita selalu membuatnya abadi. Sang papa kemudian ditugaskan ke Semarang. Sebelum akhirnya sekarang menetap di perum Korpri Tembalang, keluarga Nadia sempat tinggal di perumahan Brimob di daerah Pudak Payung, Ungaran. Nadia kecil 2 kali pindah sekolah untuk menyelesaikan SMP-nya. Sesuatu yang benar-benar menguras emosi dan mempengaruhi kepribadiannya. Layaknya anak-anak cerdas lain, Nadia melewatkan masa remajanya dengan bersekolah di SMA N 3 Semarang, sekolah terfavorit di kota Semarang.

Berpetualang dari satu tempat ke tempat lain membuat Nadia tumbuh menjadi pribadi yang agak tertutup. Ia takut berteman akrab karena pada akhirnya akan ia tinggalkan jua. Di sekolah dasar dulu ia punya teman sehidup semati, partner in crime, namanya Monik. Mereka berdua menangis dua hari dua malam ketika Nadia memberitahu akan pindah ke Semarang. Sejak saat itu, Nadia lebih suka menciptakan dunianya sendiri. Nadia menjadi jarang berbagi dengan orang lain. Ia seperti merasa takut untuk kehilangan lagi. Trauma dikhianati teman juga membuat Nadia tidak lagi bisa berteman akrab. Sakit itu bahkan ia bawa hingga tumbuh dewasa. Rasa tak ingin lagi dikhianati membuat Nadia semakin rapat menutup pintu hatinya.

Nadia seolah mempunyai dua dunia. Satu dunia untuk dirinya sendiri, dimana ia bisa menyimpan semuanya, menjadi dirinya sendiri. Tidak ada yang ia biarkan bermain di sana, selain dirinya dan Tuhan. Dunia satu lagi, adalah dunia dimana ia menjalani hari-hari normalnya. Dunia penuh pencitraan. Dunia yang membuat orang merasa mengenal identitasnya. Dunia dimana ia selalu hadir dengan sederet ceria, tingkah yang meletup tak terduga, dan senyum maut yang membuat hidup seorang pria menjadi kalang kabut. Keceriaannya sejatinya ia buat untuk menutupi sepi yang selalu menganga di hati. Tingkah impulsifnya tak lebih dari pelarian segala kecamuk rasa yang tak pernah ia biarkan menemukan bentuknya.

Nadia tumbuh menjadi remaja yang cuek, independent, dan cenderung apatis. Warna sesungguhnya pribadi Nadia hanya akan terlihat oleh orang-orang terpilih, mereka yang ia percaya melongok ke dalam kamar hatinya. Demikianlah Nadia, seperti bumi yang terang di siang hari dan gelap di malam hari, seperti Dr. Jakyle yang santun di kala siang dan Mrs. Hyde yang berdarah dingin di waktu malam. Cantik, cerdas, meng-getarkan, tapi penuh dengan kompleksitas dan paradoks.

Pertama kali mengenalnya, aku sama sekal tidak berpikir ia lah yang kemudian melingkar di hatiku. Bukannya aku menolak. Lelaki mana yang tidak mengidamkan bersanding dengan perempuan jelita seperti dia. Hanya, sebelum khayal membawa pikiranku membumbung dalam nikmat imajinasi, realita telah menyadarkan hatiku terlebih dahulu. Menghempaskannya ke bumi untuk tidak mencoba terbang tinggi dalam buai imajinasi. Dengan logika yang sederhana, sangatlah tidak tahu diri untuk mengangankan dia menjadi kekasihku. Siapalah aku ini? Hanya pemuda miskin dari kampung nun jauh di ujung utara pulau Jawa. Sementara dia, mutiara berkilau yang berasal dari keluarga ningrat. Setelah pensiun dengan pangkat terakhir Letkol, ayahnya mengakrabi dunia politik dengan menjadi anggota dewan.

Tapi, rupanya, aku benar-benar pemuda yang tidak tahu diri. Meski sudah dibanting teramat keras, serpihan imajinasi yang tersisa, kembali bangkit dan memberontak. Kekagumanku akan keindahannya, kerinduanku akan keceriaannya, tanpa disadari terus menyirami benih-benih cinta yang sedari pertama berjumpa telah bertaburan di ladang hatiku. Aku tiada kuasa untuk kembali menghempaskan impian itu. Hasrat itu justru tumbuh semakin menghebat. Hingga kemudian, di setiap perkuliahan yang aku ikuti, keindahan melihat wajah dia lebih membiusku daripada janji-janji masa depan yang ditawarkan oleh diktat yang tingginya menumpuk-numpuk tersebut.

Tiga tahun aku berjuang meraih gagang pintu hatinya, menawarkan diri untuk menemaninya meringkuk dalam kamar kesendiran. Tiga tahun aku bertahan dalam setiap penolakan Nadia. Aku tidak sekalipun berlari ketika Nadia menghardik. Aku tetap datang, menawarkan bahu, menjadikan diriku ada tiap kali ia membutuhkan. Sebagai seorang teman, aku mungkin mendekati kesempurnaan. Dengan segala kehangatan, aku selalu menerima keadaan Nadia. Aku akan ikut menangis ketika air mata membakar matanya. Ketika jarinya teriris, akulah yang menjerit meringis dalam sakit. Aku membantunya melihat indah pelangi di lebat hujan derita yang terkadang menerjang. Aku mengajarinya bersikap ikhlas. Aku meminjamkan seluruh panca inderaku untuk Nadia.
Di dunia yang fana ini, tidak ada satupun yang sanggup menandingi kekuatan sabar. Allah bersama orang-orang yang sabar. Ketika mendapat musibah, mereka tidak mengeluh. Ketika mendapat bahagia, mereka tidak takabur. Kala uji derita mendera, mereka tetap berlari bersimpuh kepada-Nya. Batu yang paling keras sekalipun akan meninggalkan tanda cekung ketika tetes hujan dengan sabar menitik di atasnya. Apalagi hati manusia, makhluk yang dicipta dari tanah. Manusia boleh berburuk sangka terhadap sesuatu. Manusia boleh membenci sesuatu, hingga matanya dibutakan oleh kebaikan. Tapi Allah adalah penguasa hati, penguasa dunia, pemilik jiwa dan raga manusia. Apa yang manusia sangkakan tidak akan terjadi, apa yang manusia coba hindarkan karena takut akan keburukannya, bisa dengan mudah dibalikkan oleh Allah. Apalagi hanya mengubah hati, menghancurkan dunia seisinya yang begitu besar ini pun cukup Allah lakukan dengan berucap: hancurlah, maka dunia seisinya akan hancur lebur.

‘Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu. (QS. Yasin:82)

Pun demikianlah akhirnya, Allah membuka mata hati Nadia. Pintu yang sekian tahun digembok dengan kunci keacuhan dan kemandirian, akhirnya terbuka juga. Awalnya hanya sekadar terbuka sedikit, lalu perlahan melebar, untuk kemudian terentang memberikan semesta kasih dan cintanya. Dengan penuh berucap syukur, Nadia pun menerima cintaku. Apa yang selama ini ia cari, ternyata selama ini telah hadir di hadapannya. Apa yang selama ini ia sangkakan batu kali, ternyata sebuah permata bersinar. Anak udik ini ternyata zaitun yang membuat harum hari-harinya.

Apa yang terjadi dengan hati Nadia mengajarkan kepadaku sebuah pelajaran penting tentang hati. Bencilah sesuatu secara wajar. Cintailah sesuatu dengan kadar secukupnya. Apa yang aku sangkakan baik atau jelek, terkadang tidak demikian adanya. Hanya Allah yang Maha Tahu Segalanya.

‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah:216)

8:42 PM

(2) Ketika Cinta dituntut Keikhlasannya

Bumi mulai merebahkan diri dalam buai senandung malam. Sebuah kuas tak terlihat menari mendayu menghitamkan langit. Pedar lampu jalan tergolek lemah menyepuh atap-atap rumah penduduk yang berbaris rapat di kawasan Semarang atas. Keindahan kota Semarang di waktu malam selalu menghadirkan nuansa indah yang menggetarkan. Kilau warna-warni cahaya lampu kota, pedar lampu rumah penduduk, terang lampu gedung, aneka sorot papan reklame, dan lincah gerak lampu kendaraan saling menyulam membentuk harmoni absurd warna lukisan surealisme. Aneka warna seperti begitu saja ditumpahkan di atas canvas berwarna hitam. Tak beraturan tapi menghadirkan nuansa nyaman.

Hayya alla sholla
Hayya alla falla
Qadqa matisalla
Allahu akbar allahu akbar
La illaha illallah

Indah lantun iqamah lamat menghilang ketika aku tiba di rumah kos. Aku kos di Gergaji, sebuah kawasan yang terletak tidak jauh dari Simpang Lima, ruang publik paling ternama di Semarang. Setelah memarkir motor, menaruh tas dan jaket, aku bergegas menuju musholla yang terletak tak jauh dari tempat kosku. Beberapa bapak yang juga akan mendirikan shalat magrib berjalan tergesa mempercepat langkah. Usai membasuh muka dan berwudhu, aku segera membariskan diri mengikuti urutan shaft. Bacaan Al Qur’an imam mengalun lembut, memantul di antara dinding-dinding musholla, meneduhkan telinga dan jiwa makmum yang berada di belakangnya. Shaf salat tidak terlalu penuh sore itu. 3 baris shaf terakhir tidak terisi jamaah. Tepat aku berbaris di deret shaft, shalat magrib telah memasuki rakaat kedua.

Musholla ini tidak berukuran besar, terhimpit di antara deret pemukiman warga. Serambinya pun langsung berhadapan dengan serambi rumah warga. Hidup di pemukiman padat seperti Gergaji memang meniscayakan keberadaan luang lapang layaknya tata ruang di kampung. Kesibukan penduduk kota juga membuat nafas agama di musholla ini kurang terasa gregetnya. Sehabis shalat magrib, tidak seperti mushalla di kampung yang penuh menanggungkan anak-anak belajar mengaji, musholla ini selalu lengang seperti tempat keramaian usai menanggungkan hajatan. Yang tersisa, biasanya, hanya beberapa bapak yang bercakap di teras musholla, menunggu waktu Isya’ atau sekadar bercakap sekadarnya.

Berbeda dari biasanya, usai mendirikan shalat Magrib, aku tidak ingin segera melipat sajadah. Damai yang tercipta dari khidmat shalat dan suasana nyaman mushalla membuat aku ingin sedikit lebih lama menyatu dalam lirih udara melantukan tasbih kepada Sang Penguasa Dunia. Dengan hati yang dibalut resah, betapa ibadah yang dijalani terasa lebih menemukan ruhnya. Sesaat aku bergetar malu memikirkan bagaimana aku hanya berlari khusuk kepada-Nya ketika ada kerikil derita ataupun resah menyembul mengganggu ketenangan jiwa. Kenapa begitu susah untuk menggetarkan jiwa dalam doa saat rasa ataupun kehidupan berjalan baik-baik saja. Ataukah, rasa sedih, sakit, dan derita sengaja diciptakan agar manusia dapat merasakan kenikmatan tulus sebuah doa?

Bukan rahasia lagi bahwa kebahagiaan, kemewahan, dan aneka nikmat dunia acap membuat batin manusia menjadi bebal. Segala yang keluar dari batin yang bebal kemudian menjadi terasa kering, gersang, dan layu. Ketika pemilik jiwa gersang ini melantunkan doa, kata-kata itu terasa keluar dari penalarannya saja, bukan dari hati nuraninya. Sungguh berbeda dengan apa yang dirasa oleh merasa yang sedang menanggungkan nestapa. Batin pemilik jiwa yang sedang menderita cenderung peka dan sensitif terhadap rangsangan rasa. Hingga ketika ia berdoa, batinnya juga akan ikut bergetar. Ia seolah luruh dalam pemaknaan kalimat yang terkirim ke langit. Inilah mengapa kesedihan tidak selamanya berkonotasi jelek. Kesedihan, sakit, bahkan perbuatan dosa dapat menjadi berkah apabila ia kemudian melahirkan penyesalan, pertobatan, kebaikan, dan ketakwaan kepada Allah swt.

Firman Allah dalam Al Qur’an:

Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath:18)

Setelah merampungkan wirit, aku melipat sajadah dan melangkah keluar mushalla. Benar saja, beberapa Bapak nampak asyik berbincang di serambi. Aku menyalami mereka sebelum meninggalkan musholla. Beberapa penduduk yang berpapasan menyapa ketika aku melewatinya. Cukup lama tinggal di tempat ini membuat aku telah akrab dengan penduduk sekitar.

Rumah kos ini hanya ditempati bertiga, aku (Muhammad Candra), Agus Setyabudi, dan Aris Yusuf Setyawan. Aku yang tertua di antara mereka. Agus bersekolah di SMKN 7 Semarang, sekolah kejuruan terbaik di kota Semarang. Lulusan sekolah ini biasanya memiliki masa depan cerah. Puluhan perusahaan antri untuk mendapatkan tenaga dan pikirannya. Aris yang dulunya juga bersekolah di SMK N 7 Semarang sekarang sudah bekerja di Nasmoco Kaligawe, dekat terminal Terboyo Semarang. Tahun ini ia bahkan terpilih mewakili region Jawa Tengah dan DIY untuk mengikuti lomba Body Painting tingkat nasional di Jakarta. Apabila juara, ia akan mewakili Indonesia mengikuti kontes serupa tingkat Asia Pasifik di Thailand. Sudah 1 minggu ini ia dikirim perusahaannya untuk training di Jakarta dalam rangka persiapan menjelang perlombaan tersebut. Inilah mengapa suasana kos mengalun syahdu penuh keheningan. Apalagi sejak pulang dari musholla, aku pun tidak melihat Agus. Kalau jam segini ia tidak berada di kamarnya, biasanya ia sedang belajar bersama bersama teman-teman sekolahnya.

Sesampai di kamar, aku merebahkan tubuh lelahku di atas tempat tidur. Setelah seharian bekerja ditambah resah yang menggelanyuti jiwa, tubuhku terasa capek juga. Sedikit guyur air, mungkin tubuh ini terasa segar. Tetapi biarlah aku mandi nanti menjelang shalat Isya’ saja. Aku juga berencana menemui kang Radjimo setelah shalat Isya’. Sesudah magrib, Kang Radjimo pasti sibuk mengajar membaca Al Qur’an anak santrinya. Kang Radjimo adalah mentorku semasa kuliah di Fakultas Sastra. Usianya kira-kira terpaut 5 tahun lebih tua dariku. Dia adalah ativitis kampus. Kalau tidak kuliah, waktu dia habis didedikasikan untuk dakwah atau kegiatan keagamaan kampus lainnya. Setelah lulus ia mengabdikan dirinya beribadah mengurus sebuah yayasan amal dan zakat milik seorang dai ternama.

Berbicara dengan kang Radjimo ibarat mengecap kesejukan air telaga. Tiap suku katanya tersusun dengan baik. Pilihan bahasanya begitu halus dan diucapkan dengan intonasi yang sungguh tepat. Kata yang terucap dari hati yang sepenuhnya hadir untuk menyimak itu selalu ampuh mengurai kusut jiwa tiap kali aku berada di dekatnya. Kang Radjimo adalah oase kehidupanku. Tiap kali aku tersesat dalam gelap lorong jiwa, aku selalu berlari kepadanya. Ilmu agamanya tergali demikian dalam. Kearifannya membumbung tinggi mengecap pintu-pintu langit.

Aku menggeliatkan tubuh dengan malas. Mataku menerawang, menerabas ke atas. Bersitatap dengan langit-langit kamar, aku beristigfar mengingat tantangan Nadia. Sholat membuatku tenang, tetapi kecamuk bingung masih membakar kedamaian hatiku. Bencana yang belum lagi aku tanggungkan ini memang telah membuat pikiranku mengembara. Tersesat dalam rimba kekhawatiran nafsu kepemilikan. Tubuh yang dibalut lelah menggodaku untuk memejamkan mata. Membiarkan pikiran yang juga lelah ini berjumpalitan berkelana.

Subhanallah. Membiarkan akal berkelana tanpa kendali sungguhlah perbuatan yang sangat berbahaya. Pikiran yang kosong mudah sekali tergoda untuk menjadi sedih, cemas, takut, dan gundah. Pikiran yang kosong juga akan melemparkan pemiliknya mengingat berbagai hal yang tidak seharusnya diingat, apakah itu romantisme masa lalu atau bayang getir masa depan. Waktu kosong yang dibiarkan berlalu tanpa diisi dengan kegiatan yang positif merupakan bentuk kerugian. Ibarat pencuri, waktu kosong yang dibiarkan akan mencuri jatah kita untuk mendapatkan kebaikan dari berbuat, pahala dari beramal, ilmu dari membaca, atau teman dari bersilaturahmi.

Betapa pikiran yang dibiarkan kosong memang sangat berbahaya. Ibarat benteng tidak berpenjaga, ia dengan mudah disusupi oleh musuh. Benar saja, kala pikiranku melayang-layang tak tentu arah, sesosok makhluk aneh bertandang. Tanpa permisi ia duduk di sampingku. Berbisik di telinga kiriku, mencoba meniupkan jawab mengurai kabut yang menutupi hatiku.

‘Katakan saja tidak. Ia tidak akan pergi meninggalkan kamu. Ia akan mengorbankan mimpinya demi ego kamu. Bukankah ia sudah memberitahu kamu. Mengapa kamu membiarkan diri kamu bingung tidak karuan seperti ini. Telepon dia sekarang. Ucapkanlah saja kata itu, dan aku akan membantu kamu,’ demikian ia merayu aku.

Aku tergagap. Sesosok makhluk hitam jelek sedang merapatkan duduknya ke arahku. Melihat aku tidak segera menuruti sarannya, ia kembali menggodaku. Ia bisikkan betapa akan gersang hari-hariku ketika air kehidupanku berhenti mengalir. Ia rentangkan potret suram diriku yang berjalan tak tentu arah ketika makna hidup tidak lagi menghangati hatiku. Ia yakinkan aku bahwa arti kebahagian sejati adalah ketika aku bersama Nadia. Membiarkannya pergi adalah sebuah kebodohan, sebuah lubang yang aku ciptakan sebagai kuburanku sendiri.

Aku bergeming. Setidaknya sekarang aku tahu siapa gerangan yang sedang bertandang. Makhluk itu rupanya berkemauan keras. Ia tidak mudah menyerah. Dalam kamar yang sempit ini, ia melompat, berpindah ke telinga kananku. Makhluk itu katakan bahwa kepasrahan dan keihlasan membiarkan Nadia menjemput mimpinya adalah perbuatan ksatria bodoh yang berjalan dengan kepala tertunduk karena kalah perang. ‘Bangkitlah, katakan tidak kepadanya. Reguk kenikmatan bersamanya. Jangan biarkan ketidakpastian menjauhkan kamu dari nikmat cinta yang sudah kamu genggam. Telepon dia sekarang. Katakan tidak kepadanya.’
Makhluk jelek itu meraung karena aku tidak jua menuruti kemauannya.

‘Bukankah kamu bilang dia adalah pusat semestamu. Lalu apa yang terjadi apabila sebuah galaksi kehilangan pusatnya? Planet-plantenya akan saling bertabrakan. Hancur berkeping-keping. Jangan biarkan pusat semestamu pergi. Bangkit. Genggam dia. Kamu selalu melafalkan bahwa dia adalah jantung hidupmu. Apa yang terjadi bila separo jantung kamu terenggut hilang? Kamu harus bernafas dua kali lebih berat. Kamu bisa kekurangan oksigen. Dan akhirnya kamu akan mati mengenaskan. Kenapa kamu mau menukar kesenangan dengan sebentuk kebodohan? Bangun, bangunlah wahai temanku.’

Luar biasa daya tahan dan rasa tak tahu malu makhluk ini. Ia memangilku dengan sebutan teman segala. Betapa sok akrabnya. Ia kembali merayu. Tak jua kehabisan akal makhluk buruk ini. Makhluk ini seperti membawa setumpuk kamus ‘Cara Jitu Merayu dan Membujuk Hati’. Meski tak jua aku turuti, ia tetap maju membisikkan tipu rayu.

‘Kamu pikir kamu dapat lagi mendapatkan gadis seperti dia. Kamu pikir ia akan bersedia menunggu dan kembali untuk kamu. Bangunlah. Lihatlah realita. Menyan-dingkan dia adalah prestasi terhebat kamu. Membiarkan dia pergi hanya akan membuatnya melihat dunia lebih terang, membuatnya bertemu dengan makhluk dari penjuru dunia yang pastinya lebih hebat dari kamu. Apa yang kamu andalkan untuk bersaing dengan orang-orang hebat dari seluruh penjuru jagad itu? Kenapa kamu harus bersayembara dengan nasib.’

‘Bangun. Sadarlah. Apa yang dia lakukan sebenarnya tak lebih dari sandiwara orang tuanya untuk memisahkan kalian berdua. Apa yang membuat ia menahan kabar ini andai bukan karena ia memang sengaja mela-kukannya? Tegakkan harga diri kamu, teman. Jangan biarkan rasa pasrah menidurkanmu di balik selimut kebodohan yang akan kamu sesali nantinya.’
Hatiku bergetar, seolah terjadi gempa bumi. Aku tahu makhluk itu adalah perwujudan setan. Aku pun beristigfar. Memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang terkutuk. Tapi bukan setan bila ia cepat menyerah. Ia datang dari segala arah dan dapat hadir dalam rupa apapun. Melihat aku bersikukuh, ia kemudian mengubah dirinya menjadi angin, merobek dadaku, dan melesat menjerit-jerit di depan pintu hatiku.

‘Sadarlah. Sejarah percintaan jarak jauh mana yang pernah mengabarkan sebuah akhir yang bahagia. Jarak akan membunuh rasa sayang kalian. Gunung akan menghalangi tiupan kasih kalian. Laut yang terbentang akan menghambarkan manis cinta yang kamu kirim untuknya, hingga akhirnya membuat kalian tergelepar dalam derita penantian.’

Aku tersenyum kecut. Statistik memang tidak bersahabat. Sekian pasangan yang aku kenal tidak kuasa menahan coba melewati rasa yang terbentang jauh. Kebanyakan dari mereka memilih menyerah. Aku bukannya tidak tahu, aku sadar akan hal ini. Tapi, bagaimana kita bisa mengatakan garam itu pahit apabila tidak mencicipinya? Haruskah aku menambah daftar deret panjang mereka yang menyerah? Batinku bergetar. Aku orang beriman yang punya Tuhan. Tidak akan aku biarkan buram bayang masa depan meng-hancurkan keimananku.

‘Sadarilah kenyataan ini. Jangan menjadi orang yang naïf. Ketika masih satu kota, satu negara, hubungan kalian saja begitu pelik, penuh rona, penuh dengan derita dan nestapa. Apalagi nanti ketika jarak memberai kalian berdua. Hubungan dengan restu orang tua saja sering tidak kuasa menahan koyak kesendirian dan penderitaan dalam kisah cinta jarak jauh. Apalagi kisah kalian, hubungan tanpa restu orang tua dia.’

Luar biasa. Setan terkutuk ini pastinya sudah melakukan riset untuk mengetahui sejarah percintaanku. Mendengar ucapannya, aku terpukul juga. Cinta dengan restu saja acapkali menggigil luruh ketika harus melakonkan long distance relationship. Apalagi cinta yang tak direstui seperti kisah cintaku ini. Setan hina ini benar juga. Tetapi, bukankah kami sudah kebal dengan kesendirian? Sekarang pun, ketika kami masih satu kota, kami tidak bisa berjumpa sesering hati menginginkannya. Kala rindu memanggil, kami harus menciptakan sebuah scenario pertemuan yang tergelar seperti cerita-cerita dalam roman. Kami bermain petak umpet dengan orang tua Nadia. Jadi, apabila nantinya kami harus berteman akrab dengan sepi dan sendiri, bukankah selama 2 tahun terakhir ini, itulah kisah cinta yang tergelar? Jadi, apa yang musti aku takutkan untuk menerima tawaran peran roman cinta jarak jauh ini?

Aku bergeming. Ketakutan yang makhluk jahaman hembuskan ini tak mampu membelai kukuh benteng hatiku. Andai cuma kesendirian, aku sudah terlatih untuk mengakrabinya. Melihat aku masih saja tidak menerima tawarannya, setan ini tidak juga menyerah. Ia justru semakin keras mengetuk hatiku, meraungkan tipu rayunya.

‘Bangun manusia kepala batu. Apalagi dia seorang wanita, makhluk yang lemah. Tidak akan ada wanita yang tahan terhadap derita. Wanita itu peka, rapuh terhadap rasa. Kamu pikir menahan rindu itu tidak menderita. Kamu mungkin bertahan, tapi tidak dengan dia. Kenapa dia harus menggigil dalam dingin gigitan rindu ketika nanti di sana ada tangan dan hati yang menawarkan hangat. Kamu nanti akan menyesali kebodohanmu ini. Larang dia sekarang. Atau dia akan membunuh kamu di kemudian hari.’

‘Andai ia tetap bersikeras pergi, kamu hendaknya menegakkan harga diri kamu sebagai laki-laki. Sadarilah, siapa yang dapat menjamin ia dapat memelihara rasa. Bisa saja ia akan memutuskan rasa itu. Bangkitlah kalau begitu. Putuskan saja dia sekarang. Tegakkan harga diri kamu. Larang dia untuk pergi. Andai ia tetap bersikeras, bangunlah, ucapkan saja putus kepadanya. Untuk apa kamu bersusah payah menyimpan setia apabila kamu juga tidak tahu apa yang terjadi padanya di negeri seberang sana.’

Aku menatap makhluk jelek itu. Melemparinya dengan senyum. Lalu menggelengkan kepala menolak tawaran manisnya. Selesai? Belum. Setan hina itu tetap maju menerjang dengan rayu maut membiusnya yang lain. Kali ini dia berusaha mematik rasa sakit akibat deraan hinaan keluarga Nadia.

‘Bangun wahai manusia. Tegakkan harga diri kamu. Mengapa kamu tiada jua lelah meski tiap saat pribadi kamu mereka hina. Mengapa begitu mudah kamu melupakan tiap rasa sakit yang keluarganya torehkan kepadamu? Mengapa kamu tetap saja bersetia meski mereka sama sekali tidak menganggap kamu ada. Wahai kawan, kamu adalah seorang laki-laki. Lihat apa yang selalu kamu lakukan. Meringkuk tiarap seperti tikus. Bahkan kamu tidak berani bersikap layaknya lelaki bermartabat. Inikah hidup yang kamu inginkan? Ayo, teman, jalanilah hidup ini dengan penuh kesenangan. Bangkitlah. Raih tanganku. Cecap nikmat dan surga dunia bersamaku. Telepon dia sekarang juga. Katakan tidak kepadanya. Biarkan rasa cemas hati kamu terbang menghilang bersama derap malam yang melaju. Akhirilah semua derita malam ini juga. Telepon dia, katakan bahwa kamu melarang dia untuk pergi.’

Luar biasa stamina setan ketika menggoda. Dia benar-benar tahu bagaimana cara merayu. Tembakannya juga selalu tepat di titik lemah manusia. Dia benar-benar melakukan riset yang hebat sebelum datang menyerang. Aku beristigfar, kembali memohon perlindungannya. Aku tidak boleh kalah. Allah telah memperingatkan manusia melalui Al-Qur’an:

‘Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.’ (QS. Al-Faathir:5)

‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (QS. Al-Faathir:6)

Kalau selama ini Nadia memilihku sebagai pendampingnya, pasti bukan tanpa alasan. Dan apabila sekarang aku menjadi pribadi kerdil yang membonsai impiannya, bagaimana bentuk pertanggungjawabanku kepada Nadia.

Tidak, aku tidak ingin menjadi pribadi yang picik. Ini bukanlah Candra yang aku kenal. Candra adalah pribadi yang berjiwa besar. Pribadi optimis. Pribadi yang selalu menantikan tiap misteri kelokan hidupnya dengan semangat dan ucap syukur kepada Allah. Sekuat tenaga aku menguatkan hatiku. Aku tidak boleh kalah. Andai toh selama ini keluarga Nadia tidak membuka pintu untukku, itu bukanlah sebuah akhir. Selama ada niat, di situ ada jalan. Ketika sebuah pintu tertutup, sejatinya sebuah jendela sedang terbuka. Aku tidak melakukan sebuah perbuatan dosa, aku hanya sedang memperjuangkan cintaku. Aku menyakini rasa ini. Aku akan terus menggegamnya. Berjuang mewujudkannya menjadi nyata. Kalau toh tidak sekarang, insyaallah, besok atau besoknya lagi, pasti pintu keluarga Nadia akan terbuka.

Aku menatap ke arah makhluk hina itu. Memberikan senyum terbaikku. Dan dengan mengucap bismillah, meniup bayang gelap itu merepih hilang tak berbekas. Ketika aku memenangkan pertempuran itu, suara alun adzan Isya memantul dari jendela kamar. Subhanallah. Aku mengucap alhamdulillah, memuji kebesaran Allah atas karunia-Nya memberiku kekuatan tidak terbujuk kepada rayu setan yang terkutuk. Waktu melaju demikian cepat. Selesai mandi, aku segera mendirikan shalat Isya.

Betapa sempurna ajaran agama Islam. Sholat yang diwajibkan 5 kali sehari semalam sungguh persinggahan teduh untuk meneduhkan tubuh dan ruh yang terpanggang api kehidupan. Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sesungguhnya mampu membuat hati yang dibakar resah dan dirundung gelisah kembali menjadi tentram dan tenang. Shalat yang dilakukan dengan khusuk dan memperoleh ridho Allah, adalah obat mujarab untuk menghilangkan keluh sedih dan risau yang bertandang.
[]

Lebih kurang 30 menit berkendara menyusuri jalan Sriwijaya lalu berbelok ke Lampersari, aku pun tiba di halaman rumah kang Radjimo. Sebuah rumah berlumur cat putih yang mulai kehilangan kilau warnanya. Rumah yang tidak terlalu besar ini tenggelam di antara gagah rumah-rumah di sebelahnya. Dulunya, rumah ini adalah kepunyaan orang tua kang Radjimo. Setelah kedua orang tuanya meninggal, sebagai anak tunggal, hak milik rumah ini turun kepadanya. Meski sebenarnya kang Radjimo dapat pindah ke rumah yang lebih bagus, tetapi ia mengatakan ingin menetap dahulu di rumah ini, setidaknya selama beberapa tahun.

‘Ada amanah orang tua yang harus dijaga,’ demikian kang Radjimo selalu mengurai alasannya.
Kang Radjimo menyambutku dengan gaya khasnya. Senyum lebar, wajah berbinar, dan tangan yang selalu terentang penuh kehangatan. Meski cukup lama kami tidak bertemu, tapi kehangatan dan keceriaannya tak sedikitpun luntur. Tubuh kurus kang Radjimo sampai terguncang-guncang ketika ia memelukku.

‘Waalaikumsalam. Mari masuk, saudaraku.’ Ucap kang Radjimo begitu mengetahui aku yang datang berkunjung. Sepertinya kang Radjimo baru saja pulang dari masjid. Sorban dan kopiah masih melingkar di tubuhnya.
Kami pun duduk di ruang tamu, berisi sebuah meja bundar yang dikelilingi 5 kursi terbuat dari rotan. Rumah kang Radjimo memang sederhana, tetapi aura yang ada di dalamnya begitu damai dan meneduhkan. Tamu yang masuk ke rumah ini akan merasakan aura tersebut begitu ia melewati pintu masuk. Beberapa kaligrafi yang menggantung di dinding makin pekat menebar aroma sejuk.

‘Ada apa saudaraku. Apa yang dapat saya bantu?’

Sesaat aku malu mendengar pertanyaan kang Radjimo. Aku hanya mengunjunginya ketika sedang menanggungkan lara. Ketika suasana batin dan jiwaku baik-baik saja, betapa aku mudah melupakan untuk bersilaturahmi kepadanya.

‘Maaf sebelumnya, kang. Saya hanya berkunjung ketika sedang menanggungkan masalah.’ Aku berucap dengan kepala tertunduk karena malu.

Kang Radjimo hanya tersenyum mendengarnya. Sebentar kemudian tawanya membuncah keluar. Ia tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya. Demikianlah kang Radjimo. Segala tindaknya selalu didasarkan pada perilaku rasulullah Muhammad saw. Termasuk juga caranya tertawa. Rasulullah mengajarkan kepada manusia untuk selalu menjadi pribadi yang tersenyum. Karena senyum sejatinya adalah obat bagi jiwa. Orang yang mudah tersenyum, menandakan dia selalu berpikir positif dalam hidupnya. Orang yang tersenyum akan menyebar rahmat kepada saudaranya. Bibir yang selalu dihiasi senyum menandakan pemiliknya mempunyai keluasan jiwa, berterima terhadap segala ketentuan-Nya, tidak mudah menyerah, tidak gampang mengeluh, kesabarannya luas, terentang tiada bertepi. Selain tersenyum, Rasulullah juga mengajarkan agar umatnya tertawa dengan lepas. Ketika tertawa, Rasulullah akan tertawa cukup keras hingga nampak gerahamnya.

‘Tidak apa-apa, Ndra. Biasa itu. Manusia memang seperti itu. Lagipula, kamu kan termasuk orang sibuk. Jadi, maklumlah.’

Pengertian kang Radjimo makin membuatku tidak enak hati saja.
Aku tersenyum kecut dalam hati. Kang Radjimo memang paling bisa menyentil kesalahan orang dengan cara yang halus. Diantara berbagai hal yang aku pelajari dari kang Radjimo adalah kematangan dalam kemampuan verbalnya. Ia selalu memilih kata dengan tepat. Menyuarakannya dengan intonasi yang tertata. Melumuri tiap kata dengan balut empati yang sesuai. Kata yang keluar dari mulutnya seperti memiliki ruh yang dapat menyihir pendengarnya. Kang Radjimo adalah tipe orator ulung. Diplomasinya benar-benar dapat diandalkan.

Sebelum aku kembali berucap, mbak Alina muncul membawa minuman dan makanan ringan. Mbak Alina adalah istri kang Radjimo. Mereka berdua bertemu saat aktif berdakwah di kampus. Setelah lulus, kang Radjimo langsung meminang mbak Alina.

‘Kalau bertemu yang cocok, langsung khitab aja Ndra. Menikah adalah salah satu sunnah rasul. Jangan tunggu hingga kamu benar-benar siap. Dituruti sampai kapan pun, terkadang manusia tidak pernah merasa siap. Jika kecantikan dia, keimanan dia, dan kepribadian dia sudah memikat kamu, yakinilah, itulah panggilan Allah yang harus kami datangi.’ Demikian alasan kang Radjimo waktu itu. Ketika kemudian aku memperkenalkan Nadia kepada kang Radjimo, ia menghadiahkan senyum kepadaku.

‘Insyaallah, Ndra. Mohonlah kepada Allah selalu agar kalian segera dipersatukan dalam keluarga yang sakinah.’ Demikian waktu itu kang Radjimo memberikan restu dan mendoakanku.
‘Silahkan diminum, Ndra.’ Ucap mbak Alina mempersilahkan.
‘Iya, mbak. Terima kasih. Maaf nih jadi merepotkan.’ Ucapku berbasa-basi.
‘Tidak ucap berucap begitu, Ndra. Seperti dengan siapa saja. Jangan sungkan-sungkan gitu. Ayo diminum.’

Begitulah kehangatan keluarga kang Radjimo menerimaku. Di tengah segala kesederhanaan, kebersahajaan dan keimanan mereka membuat segala yang tersaji terasa nikmat. Malam itu, disela canda akrab dan hangat yang mencair merambati udara dan hatiku, aku membuncahkan segala warna rasa yang dua hari ini merajam habis kedirianku. Aku menceritakan kepada kang Radjimo mengenai dilematika yang sedang aku hadapi. Ketakutan tak beralasan yang menghitamkan hati. Tentang bagaimana rasa takutku menghadapi bayang perpisahan dengan Nadia. Tentang carut marut lemah jiwaku sebagai manusia. Juga tentang kepasrahan Nadia mengharap jawab dariku.

Kang Radjimo khidmat mendegarkan. Kopiah di kepalanya terantuk-antuk mengikuti anggukan kepala saat dia menyimak. Kang Radjimo benar-benar hadir di hadapanku. Ia tidak hanya menyediakan panca inderanya, tetapi juga segenap hati dan rasanya. Hatiku melembut terguyur oleh sejuk pencerahan yang diuntai oleh kang Radjimo.

‘Ikhlaskan saja, Ndra. Sebagai manusia, kita tidak seharusnya meragukan takdir Allah. Apa yang terjadi, semua sudah digariskan bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini. Bukankah saat mendirikan salat kita selalu berucap bahwa sesungguhnya hidup kita, mati kita, ibadah kita, hanya ditujukan kepada Allah semata. Ketika kita ikhlas Allah sebagai Tuhan kita, sejatinya, kita juga harus mempercayai terhadap segala takdir, qadha dan qadhar-Nya.’

‘Apabila memang Nadia adalah jodoh yang dipilih Allah untuk kamu, pasti, bagaimanapun jalannya, kalian akan dapat menuju indah maghligai pernikahan. Jangankan orang tua atau bentang jarak, semua manusia dan jin bersatu pun tidak akan mampu mengubah ketentuan Allah. Dan andai Allah tidak menakdirkan kalian berjodoh, walaupun tiap detik, tiap hari, tiap saat, kamu bersama Nadia, akan tercipta sebuah kejadian dimana kalian akan berpisah juga akhirnya.’

Dalam lembut malam yang membujur penuh keheningan, kang Radjimo mendendangkan bagaimana seharusnya cinta diterjemahkan. Beberapa kali dia juga menyitir kisah-kisah teladan tentang makna kebesaran jiwa dan keikhlasan berkorban yang dimiliki oleh para sahabat dan ulama-ulama besar dunia Islam. Dalam malam yang mengalir khusuk tersebut, kang Radjimo meneruskan dengan membedah peta-peta jalan hidup yang tergelar. Kearifannya tidak mendoktrinku. Keluasan jiwanya tidak membelengguku. Ia menunjukkan jalan dan mempersilahkan aku memilihnya. Subhanallah, semoga Allah merahmati kang Radjimo dan pribadi-pribadi terpilih lain yang selalu menyediakan suluh hatinya untuk menerangi jiwa umat yang sedang menderita kegelapan.

‘Ingat Ndra, Allah sudah berfirman dalam Al Qur’an yang suci bahwa,

‘Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahanya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Faathir:3)

‘Jalanilah hidup dengan berani, Ndra. Jadilah pribadi yang ikhlas. Dan lihatlah, betapa hidup ini akan mengalun indah seperti sebuah nada penuh dengan harmoni meneduhkan.’

‘Tak ada guna mencemaskan esok hari. Hiasilah hari ini, saat ini dengan penuh kepasrahan ibadah kepada Allah. Apa yang terjadi dalam hidup sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan saat ini. Jangan berhenti untuk berbuat baik, apapun yang terjadi. Karena dalam kebaikan, sesungguhnya, yang terlibat hanyalah pribadi tersebut dan Allah swt. Yakinlah dengan nikmat Allah, Ndra. Sekali kita berniat, mengucap, dan berikrar akan keimanan kepada Allah, maka tak ada yang patut kita khawatirkan selain murka Dia.’

‘Lakukan yang terbaik, dan pasrahkan segala sesuatunya kepada keagungan dan keadilan-Nya. Yakinlah, Ndra. Nikmat dan ampunan Dia selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar, tawakal, dan tetap memelihara iman dalam dada.’

Subhanallah. Embun kesejukan terus menetes dari kearifan kang Radjimo. Mengecap embun kearifan yang diuntai oleh kang Radjimo, sejuk kesadaran akhirnya melembutkan jiwaku. Aku yakin dengan jawaban yang telah bersemi dalam hatiku. Jawaban atas kepasrahan Nadia telah menebar hangat dalam ruang jiwaku.

Kang Radjimo membelai kepalaku dan memelukku erat ketika aku pamit pulang. Ia benar-benar dapat menyelami kalut hatiku, dan memberikan energi positifnya untuk menghilangkan segala duka tak beralasan. Aku mengucap terima kasih dan mendoakan semoga pribadi terpilih seperti dia selalu mendapat nikmat Allah sehingga selalu dapat membantu sesamanya.

Malam itu aku kembali mendirikan shalat Istikharah, memohon pertolongan dari Pemilik segala Kekuatan. Alhamdulillah, hatiku semakin mantab dengan jawaban yang akan aku berikan. Di antara derap kaki malam yang mengayun sublime, firman Allah swt memantul dalam ruang hatiku:

‘Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS. Ath-Thalaq:2)

11:19 PM

(1) Ketika Kekasih Pamit Pergi

Langit sore pantai Marina menyambutku dengan memperlihatkan lukisan terindahnya. Sebuah bola raksasa berwarna jingga menggantung dikelilingi semburat senja yang menua. Bola raksasa itu hanya tergambar separo. Separo tubuh lainnya mencair hilang tertelan larit biru air laut. Ditemani beberapa awan yang bergandengan tangan, matahari berayun pelan menuju peraduan. Sisa hangat cahayanya lamat tergolek manja, menyepuh biru laut menjadi pedar berkilauan. Beberapa burung pelipis terlukis berarak. Berbaris rapi mengepakkan sayap meniti jalan pulang. Betapa sebuah lukisan yang teramat sangat indah. Langit seperti sedang mengecup kening bumi.

Sejauh mata memandang, hanya terlihat guyur warna biru yang meneduhkan. Beberapa kapal berlabuh di tengah laut, tergambar begitu kecil hingga terlihat seperti tetesan noktah hitam. Angin berdecit-decit, melesak bak peselancar meniti punggung ombak. Mereka berlomba, beradu cepat menjadi yang pertama menjabat tangan pantai. Angin yang kelelahan, hanya menyisakan lembut belaian menyisir tiap jengkal kulit pengunjung yang berderet rapat bak bidak permainan catur. Laut terentang demikian luas, berpayung hamparan langit yang tiada memerlukan tiang. Kedamaian laut menyihir. Membelai. Menawarkan hangat bagi setiap jiwa yang terjulur mengakrabinya. Sungguh betapa Dia memang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa

Marina memang pantai yang indah. Setidaknya apabila kita datang untuk menyaksikan bagaimana matahari yang lelah memasrahkan dirinya ke dalam dekap langit senja. Hanya sayang, Marina tidak mempunyai pasir di sepanjang pantainya, tidak seperti pantai Kukub atau Parang Tritis di Yogya, pantai Kartini di Jepara, atau pantai Kuta di Bali. Di pantai Marina, yang membatasi air laut dengan daratan adalah sebuah pondasi yang dibangun membujur di sepanjang penjuru pantai. Alih-alih berjalan menikmati sensasi pasir mencari sela jemari kaki, pengunjung hanya dapat berpuas menikmati keindahan langit sore dengan duduk di atas pondasi atau di beberapa kursi batu yang tersebar tidak merata di tepian pantai.

Sore itu, aku memilih mengecap kecantikan Marina sambil merambatkan badan di kursi batu yang berdiam tepat di tengah pantai. Di sebelahku, sebuah pohon Akasia berdiri tegap, menjulurkan dedaunannya menaungi. Sejatinya, ini bukanlah pohon Akasia biasa. Pengunjung Marina megenalnya dengan sebutan pohon cinta. Meski sebenarnya, lebih tepat kalau pohon ini disebut pohon yang menderita. Demi ikrar cinta sepasang kekasih, pohon tua ini harus menanggung luka akibat goresan tangan para pengunjung yang mengukir nama diri dan nama kekasihnya. Lihatlah berbagai coreng moreng yang merambati setiap larit tubuh tuanya. Dari mulai coretan spidol, cakaran crayon, sayatan silet, hingga torehan buas pisau lipat. Betapa sebuah ironi, mereka yang mencinta, sang pohon yang menderita.

Tradisi yang bermula dari gubuk Shakespeare di Venice, Italia, ini kemudian menyebar mencari berbagai bentuknya di setiap kota di segenap penjuru dunia. Hingga kemudian, hampir di setiap tempat wisata, pasti ada suatu tanda yang dikorbankan untuk melanggengkan perwujudan simbol cinta tersebut. Benda tidak beruntung itu dapat saja sebuah pohon, gubuk, batu, atau benda lain. Apabila Anda bertandang ke kawasan Candi Gedung Songo, Semarang, dapat Anda lihat bagaimana di setiap sudut jalan, gubuk, pohon, batu, dan bahkan keras aspal jalan menanggung beban ikrar nama para pecinta tersebut. Cinta memang absurb. Dan oleh mereka yang berotak komoditi, keabsurban mencinta ini lantas menjadi ladang uang ketika imaji tidak berdasar tersebut dengan sukses dipoles menjadi sebuah realitas imajiner, hyperealitas. Siapa juga yang diuntungkan oleh ritual ukir-mengukir nama ini? Benar saja, para pemain dunia wisata tentunya.

Kawan, aku pun akhirnya menjadi korban ritual cinta ini. Setelah beberapa kali berontak tidak, entah di sore keberapa itu aku tak lagi kuasa menolak permintaan Nadia. Menyungging senyum kecut, aku mulai mengais mencari sela untuk memahat nama kami. Mencari sedikit celah di pohon sebesar ini ternyata bukanlah perkara mudah. Entah sejak kapan tradisi ini tertiup sampai di pinggir pantai Marina, tapi tubuh pohon Akasia yang tepat berada di tengah hamparan pantai telah penuh menanggungkan pasangan nama para pencinta. Aku bahkan harus mendaki dahan untuk dapat menarikan spidol hitam mengukir namaku dan Nadia. Nadia hanya cekikian ketika melihatku merayap seperti kalong menjulurkan tangan dengan kaki gagap menggapai mencari pijakan. Ritual coret mencoret yang aneh. Dan untuk menjalaninya, aku ternyata harus berperan lebih aneh dari seharusnya.

Senja menggantung semakin pekat. Semburat merah memeluk rapat matahari yang makin jauh tenggelam dalam kelelahan. Tubuh matahari yang hilang tergerus kilau biru air laut, menghadirkan pesona lukisan yang semakin memikat saja. Sepasang remaja tak jauh dari tempatku duduk terlihat begitu asik mengamati tiap gerak lembut matahari menuju ke peraduan. Sesekali tangan sang lelaki teracung, menunjuk-nunjuk ke arah matahari. Mungkin saat itu, ia sedang berucap kepada kekasihnya, ‘Biar matahari datang di pagi hari dan menghilang di malam hari, tapi cintaku kepadamu, akan selalu bersinar di setiap waktu.’ Amboi, indah bukan? Cinta memang seperti seorang guru bahasa Indonesia. Memprovokasi semua orang untuk merasa layak bersenandung seperti para pujangga.

Aku membawa pandanganku ke arah laut. Udara sore cukup bergemuruh, mengirim buih-buih ombak yang bergulung muncul dari tengah laut. Ombak yang menderu, terlihat makin melemah ketika mulai menyapa bibir pantai. Bersitatap dengan ombak, selalu mengingatkanku akan arti sebuah kesetiaan dan kasih sayang. Tanpa mengenal lelah, ombak selalu datang mengunjungi pantai. Ombak tak pernah meninggalkan pantai. Hanya kepada pantai ombak selalu pulang dalam keadaan sayang. Seberapa tinggi pun gelombang ombak terkirim dari tengah laut, ketika menyentuh pantai, ombak akan menjadi debur air yang kehilangan kegarangan. Tenang. Teduh menentramkan. Bukankah memang demikian seharusnya perilaku yang mencinta kepada kekasihnya? Selalu datang dengan kelembutan. Berikrar setia dalam kebersamaan. Tak pernah ada pengingkaran ataupun sebentuk kebohongan.

Indah potret sore pantai Marina memang sangat bersahabat dengan mata. Pemandangannya mempesona. Kesejukannya menggetarkan. Tapi, sayangnya, keindahan Marina tidak sanggup menembus hatiku. Kabut kalut yang melebat, membuat keelokan Marina tak kuasa merambat ke dalam jiwa. Sejak malam kemarin berbincang dengan Nadia, hatiku kemudian hanya mengenal satu rasa: cemas. Ah, Nadia, kenapa kamu musti tiupkan berita itu. Berita yang terasa begitu mengejutkan, menakutkan. Memaksaku berperang melawan bayangan. Berita yang Nadia sampaikanlah yang membuat aku sekarang menjulurkan raga mengecap udara pantai Marina. Berharap pesona damainya mampu merepihkan berbagai takut yang mulai menguncup di taman jiwa. Meski ternyata sia-sia. Kawan, ternyata, mata hati lah yang kuasa membuat suatu keindahan tercecap oleh jiwa, bukan mata harfiah manusia.
[]

Senja berjalan semakin dekat menggandeng petang. Selarit angin menderu ke arahku, membelai pikiranku, menghadirkan kembali fragmen peristiwa malam itu. Lepas Isya, di meja sudut ruang café Gazebo, Tembalang. Diantara nyala lilin di atas meja yang meliuk menampar udara malam. Duduk di depanku, selalu cantik seperti biasanya, Nadia mengurai berita yang sedari siang akan dia sampaikan.

‘Aku akan di Malaysia selama 2 tahun.’

Nadia berucap dengan pelan. Deret hurufnya ditekan begitu halus. Jelas ia sangat berhati-hati menyampaikan kabar ini. Tetapi, di telingaku, kata-kata itu berubah menjadi lebah yang menyengat. Tidak hanya kaget, aku juga terkejut luar biasa. Sesaat aku tidak percaya dengan yang aku dengar. Aku goyang-goyangkan kepala. Berharap deret kalimat tadi luruh. Menandakan aku sedang salah dengar.

‘Malaysia? 2 tahun?’ aku berucap memastikan.
‘Iya.’
Rupanya apa yang aku dengar benar adanya.
‘Untuk apa?’
‘Aku akan bekerja di sana. Bulan kemarin, om Handoyo memberitahu ada lowongan sebagai customer service di KLIA (Kuala Lumpur Inter-national Airport). Iseng-iseng aku apply. Kamu tahu kan aku memang pengen banget kerja di luar negeri. Bahkan impianku adalah keliling dunia.’

Om Handoyo adalah adik Om Toni, ayah Nadia. Beliau bekerja sebagai staf kedutaan besar RI di Malaysia. Dalam gagap, aku paksakan untuk menjawab.

‘Iya, kamu pernah memberitahu masalah itu. Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahu masalah lamaran pekerjaan ini kepadaku?’

Semacam ada perasaan tidak rela Nadia menyembunyikan sesuatu dariku. Apalagi informasi sepenting ini. Bukankah ketika kita saling mencinta, kita harus berlari dalam kejujuran kepada orang yang dicinta? Apapun alasan Nadia, hatiku menanggung pilu memikirkan kenyataan ia baru memberitahuku sekarang. Aku seperti merasa Nadia telah mengkhianati diriku. Satu bulan, kawan. 30 hari dia menyembunyikan berita ini dariku.

‘Aku pikir waktu itu aku tidak akan diterima. Orang waktu itu aku hanya spontan menanggapi tawaran om Handoyo.’

Nadia jelas sedang tidak enak hati. Ia berusaha menjelaskan alasan kenapa ia baru memberitahukan berita ini sekarang.

‘Tapi nyatanya, kamu diterima kan?’

Nadia tersudut. Hening menggenang. Suara musik yang mengalun lamat, tak kuasa menembus kabut yang menebal menutupi hatiku. Ternyata, gelora malam itu tidak hanya sampai di sini saja. Gemericik pedih yang mengguyur berubah melebat ketika Nadia memberitahukan bahwa dalam 2 tahun tersebut, ia sama sekali tidak diperbolehkan kembali ke Indonesia. Dalam kontrak kerja yang ia terima, tertulis bahwa calon tenaga kerja atau pihak kedua harus menyelesaikan kontrak kerja tanpa diperbolehkan kembali ke negara asal. Apabila terpaksa ada hal darurat yang membuatnya harus pulang, ia diharuskan memberikan jaminan berupa orang dan sejumlah uang yang sangat besar.

Carut marut rasa berlompatan dari hatiku, melesak-lesak menabrak dinding jiwa. Dua tahun tidak saling jumpa bukanlah ide yang baik. Bagaimana aku akan menanggungkan rindu yang tiap hari membuncah menggunung. Bagaimana aku akan menjalani hari-hariku tanpa derai tawa dan tatapan indah Nadia. Aku juga tak yakin akan siap kehilangan spon-tanitas yang selalu meramaikan hidupku. Bagaimana laju nafasku ketika separo hati tercerabut menjauh, demikian jauh hingga melintasi batas negara. Apa yang akan terjadi dengan tungku hidupku ketika percik api yang selalu menghangatinya pamit untuk tidak berpijar lagi. Ah, derita yang belum lagi aku tanggungkan telah sukses mengharu birukan hatiku yang tiba-tiba menjadi kerdil.

‘Kenapa kamu lakukan itu, Nad?’ di tengah suasana café yang tidak begitu ramai, aku mengeja kata-kata itu dengan nada lirih.
‘Lakukan apa?’
‘Menikamkan belati ke ulu hatiku.’
‘Belati apa? Jangan becanda ah.’
‘Aku tidak becanda.’
‘Tapi aku tidak bawa belati. Mana bisa menikamkan ke hati kamu.’
‘Lalu apa yang ada di tangan kamu?’
‘Kertas.’
‘Kertas apa?’
'Kontrak kerja.’
‘Kontrak kerja apa?’
‘Bahwa aku diterima kerja di KLIA Malaysia.’
‘Tidakkah itu lebih pedih dari sekadar tikaman belati?’

Aku terdiam setelah mengucap kata itu. Bayang kesendirian yang mengepung kesadaran, membuat deret kata yang bersiap keluar kembali terhisap masuk. Aku tak mengira, jenis berita seperti ini yang akan dia sampaikan.

‘Kamu membunuhku, Nad.’
‘Andai hanya belati yang merobek hati, paling hanya darah yang mengucur. Tapi bagaimana aku harus menghadapi lubang yang akan tercipta begitu dalam dengan tiadanya kamu di sisiku. Dua tahun, Nad, bukan lah sebuah waktu yang singkat.’
Nadia terdiam. 2 lembar kertas kontrak kerja yang sedari tadi terbuka di genggamannya, kembali ia lipat. Ia biarkan lipatan kertas itu teronggok dalam gengaman jemarinya. Wajahnya mengerut, seperti anak kecil terberai dari keinginannya.

‘Come on, Han. Don’t be so such dramatic. Aku hanya pergi untuk 2 tahun. Toh aku pergi untuk kerja. Bukan untuk meninggalkan kamu.’

Nadia benar. Ia memang pergi untuk bekerja. Untuk mengejar salah satu mimpinya. Bukankah selama ini ia selalu mendengungkan harapan untuk bisa berkeliling dunia? Dan apabila ternyata itu harus dimulai dari Malaysia, kenapa sekarang aku musti memprotesnya. Tapi, 2 tahun tidak bertemu? Ah.. Dan kenapa juga ia baru memberitahuku sekarang?

‘Aku sayang kamu, Nad.’ Aku bimbing wajah Nadia lurus ke arah wajahku. Menghadap sepenuhnya kepadaku.
‘Aku juga sayang kamu, Ndra. Lebih dari yang kamu tahu.’
‘Tapi kenapa kamu memilih pergi?’
‘Aku tidak pergi kok. Aku akan tetap di sini.’ Telapak tangan Kiki menjulur. Menempel ke dadaku. ‘Aku akan tetap berdiam di sini. Sela-manya. Tak ada yang akan dapat hadir memisahkan kita.’
‘Lalu kenapa kamu musti pergi ke Malaysia?’
‘Untuk mengejar impianku. Bukankah aku sudah sering mem-bicarakannya dengan kamu. Kamu gak lupa, kan?’ Nadia menatap mataku usai berucap. Ia seolah mencari jawab di sana. Nada ketus masih pekat membungkus ucapannya.
‘Kamu gak lupa kan, Ndra? Bukannya kamu dulu selalu mensupport aku. Menyemangatiku untuk terus mengejar mimpi-mimpiku.’
‘Iya.’
‘Terus, kenapa sekarang kamu keberatan?’
‘Aku tidak keberatan kok.’
‘Tapi kenapa kamu tidak merelakan aku?’
‘Karena aku sayang kamu, Nad. Teramat sayang kamu.’
‘Kalau begitu, dukung aku dong.’

Aku mendesah pelan. Mengejapkan mata untuk menghalau berbagai rasa khawatir yang bermunculan. Dalam kebingungan, kata yang kemudian aku ucapkan, justru menjadi genderang perang yang aku tabuh kepada Nadia.

‘Ini bukan cara orang tua kamu untuk menjauhkan kamu dari aku kan, Nad?’ Terucap juga kalimat itu. Meski sedari tadi aku bersusah payah menahannya.
Rona wajah Nadia sontak berubah. Alis matanya terangkat ke atas. Ia sepertinya tidak percaya aku mengajukan pertanyaan ini.

‘Sejak kapan kamu berpikir aku bersekutu dengan orang tuaku?’ Nada suara Nadia meninggi. Kelihatan ia tidak senang dengan pertanyaanku barusan. Ia mengganti kata ayank dengan kamu.
‘Jika aku memang menginginkan berpisah dengan kamu, kenapa juga aku musti jauh-jauh ke Malaysia. Aku cukup bilang tidak ke kamu, dan selesailah semuanya.’ Jelas Nadia sedang berang. Ucapanku tadi benar-benar sebuah terompet perang yang membariskan beribu pasukan geram di hatinya. Nadia kembali menyiagakan pasukan tempurnya.
‘Aku di sini hidup nyaman. Serba berkecukupan. Sedangkan di Malay-sia, aku tak tahu nanti hidup seperti apa. Paling tidak aku hanya akan mengandalkan gajiku. Kamu tahukan, itu pasti bukan kehidupan yang mudah. Tapi ini semua demi impianku. Impian yang sejak kecil aku kirimkan ke langit. Impian yang selalu menemaniku dalam setiap tidur malamku. Impian yang tetap menggerakkan aku. Membuat aku tetap ber-semangat menjalani hari-hariku.’

Mata Nadia sesaat terpejam sebelum kemudian melanjutkan, ‘Aku tidak percaya kamu dapat berpikir seperti ini.’
Aku tergagap. Dengan segera aku menyadari kesalahanku. Memang tidak seharusnya aku berucap seperti tadi.

‘Maaf, Nad. Aku sedang bingung hingga pikiranku ngelantur kemana-mana.’

Nadia hanya terdiam. Aku semakin merasa tidak enak hati dibuatnya. Ah, kelemahan iman dengan menyerah pada godaan setan memang selalu membawa ketidakbaikan. Ini salah satu contohnya. Aku tidak menyaring pikiranku. Langsung melontarkan apa yang melintas di kepalaku..

Batinku mengutuk kebodohanku sendiri. Apa lagi yang musti aku ragukan dari Nadia. Keteguhan hatinya selama 2 tahun menderita bersamaku rasanya lebih dari cukup untuk menguji keseriusan cintanya. Restu yang belum jua diberikan orang tuanya, tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menyulam benang cinta bersamaku. Apabila ia tidak serius dengan cintanya, bukankah sedari dulu ia bisa dengan mudah melepasku. Tanpa musti menunggu aku melepas tangannya, dapat dengan sekejap ia mencari tangan yang lain. Dan jika selama ini ia sanggup menanggungkan segala lara dan derita, kenapa sekarang aku justru menjadi manusia yang picik dengan mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti terjadi.

‘Nad, maaf ya. Tidak seharusnya aku berucap seperti tadi.’

Aku mengulang permintaan maaf karena Nadia tetap memilih untuk berdiam. Setelah berucap maaf kedua kali, aku pun turut berdiam jua. Pengalaman mengajarkan, menghadapi Nadia dalam situasi seperti ini, hal paling baik adalah membiarkan dia berdamai dengan dirinya sendiri. Sifat egoisnya, acapkali, hanya dapat diruntuhkan oleh lunak hatinya sendiri.
Setelah cukup lama berdiam, akhirnya Nadia dapat memahami kekalutanku.

‘Aku minta jangan menuduhku yang bukan-bukan. Lebih baik kita saling menguatkan dan mengingatkan. Aku teramat sayang kepada kamu. Aku juga tidak mau kehilangan kamu.’

Aku mendesah pelan. Bersyukur dan berterima kasih untuk pengertian yang Nadia diberikan. Sebagai orang yang merasa paling mengenal dia, kenapa sekarang aku justru menentang keputusannya. Atas nama cinta, kenapa aku justru menghambatnya. Atas nama sayang, kenapa justru aku merenggut sayap kemerdekaannya. Tapi…, bukankah banyak warta mengabarkan, jarang ada pasangan yang bisa selamat dari lilitan perih hubungan jarak jauh? Berapa banyak genggaman kekasih yang kemudian merenggang hilang ketika jarak terentang menghadang? Betapa banyak ikrar yang dipatri kuat luluh hilang tersapu badai kesepian? Mereka yang mendapat dukungan penuh keluarga saja acapkali tak berdaya tertelan kesepian dan kehampaan cinta jarak jauh? Apalagi aku dan Nadia yang belum jua mendapat restu dari keluarganya? Ketika bayang tanya ini berkelebat, rasa yakin yang mulai berkerumun, sontak menggelandang kembali. Menyusut menghilang meninggalkan hatiku dalam sejuta ngilu penuh kekhawatiran.

Rupanya, kejutan malam itu tidak hanya berhenti sampai di sini. Ketika aku masih sibuk mengembalikan hati yang berloncatan dalam kalut carut marut rasa, Nadia justru mengatakan sesuatu yang semakin melecut rasa hati ini berlarian tak karuan.

‘Sebenarnya, aku juga masih bingung kok yank. Kalau kamu bilang tidak boleh, aku mungkin akan meng-cancelnya.’ Aku kaget mendengar Nadia mendadak berucap seperti itu. Nada bicaranya terdengar mantap. Jelas ia tidak sedang bermain-main. Permainan apa ini? Bukannya baru saja ia demikian kukuh menyuarakan impiannya. Tapi kenapa sekarang ia me-nyerahkan kartunya kepadaku?

‘Aku tidak salah dengar, Nad?’ Tanyaku sambil erat menatap matanya.
‘Tidak,’ Nadia langsung menyambar pertanyaanku. Tak sedikitpun geliat ragu mengambang dalam jawabannya.
‘Kalau kamu melarang, aku bisa memahaminya. Karena sejatinya, aku pun masih ragu dengan hatiku. Kamu sangat berharga buatku. Makanya aku berbincang ke kamu. Untuk menguatkan dan menentukan mana yang harus aku pilih. Mumpung ini masih dalam taraf pengumuman, belum masuk ke tahapan seleksi berikutnya. Aku berpikir, kamu dapat membantuku mengambil keputusan. Tetapi apabila ternyata kamu keberatan, aku akan pertimbangkan kembali pekerjaan ini. Meski aku dapat menerima sikap kamu ini, tapi mungkin, aku tidak akan melupakannya. Bagaimana pun, ini adalah impianku. Tetapi, aku juga tidak mau pergi tanpa rasa ikhlas dari kamu.’

Aku tergagap. Nadia yang demikian egois. Nadia yang demikian memuja impiannya, atas nama cinta, sanggup menurunkan egonya. Mengingat pribadinya yang keras dan teguh, jelas bukan perkara mudah untuk kehilangan apa yang sedari lama telah ia impikan? Sebesar itukah rasa percaya Nadia kepadaku?
Roll coaster berpenumpang bingung, kalut, bergemuruh melesak-lesak mengecap puncak-puncak rapuh hati manusiaku. Jujur saja, berat untuk mengikhlaskan Nadia pergi. Dan melihat kerelaan Nadia melepas impiannya, bukannya membantu, justru makin merepihkan hatiku. Bagaimana aku harus membaca kepasrahan dan kepercayaan Nadia ini? Aku tak kuasa menjawab. Pikiranku mengembara. Berkelana. Tersesat dalam bayang bentang jarak Kuala Lumpur-Semarang.

Jaket malam makin rapat mendekap tubuh bumi, café yang terletak di sebelah jalan tol Tembalang ini makin ramai saja oleh pasangan yang hendak menghabiskan malam. Hingga sekitar pukul 9, ketika pertemuan harus berakhir, aku tak jua merumuskan jawab atas kepasrahan Nadia.
[]

Aku kembali mengakrabi gambar langit sore Marina. Lekat menatap laut, berharap ada jawab yang terlukis di sana. Tetapi, sia-sia saja. Tak ada yang berubah dari langit Marina. Hanya warna senja yang semakin bertambah pekat. Tak terlihat tanda yang dapat aku baca untuk mengurai kalut dalam jiwa. Aku giring pandanganku ke arah biru air laut. Berharap ada sesuatu yang menyembul, atau tergambar di sana. Tetapi kembali, tidak ada yang dapat terbaca. Ah, alam sedang tidak bersahabat dengan batinku. Ataukah, kalut dan bingung telah membuat tumpul jiwaku?

Sekumpulan burung terlihat terbang melintas membelah langit sore. Seperti ada yang mengkomando, mereka berbaris rapi dalam formasi berbentuk huruf ‘V’. Rupanya bukan tanpa alasan burung tersebut bersetia terbang dengan formasi ‘V’. Formasi ini terbukti mampu mengurangi tubrukan angin yang melawan mereka ketika terbang. Sesuatu yang ternyata alam ajarkan, dan kemudian diadopsi oleh insinyur teknologi balap mobil hingga melahirkan konsep aerodinamika.

Apabila manusia cukup mampu membaca, alam sebenarnya mengajarkan begitu banyak hal. Allah menurunkan karunia-Nya kepada manusia dengan banyak bahasa. Masih ingat cerita Kabil? Anak nabi Adam yang membunuh saudaranya, Habil. Dalam kebingungan karena tidak mendapatkan cara untuk menyembunyikan jenazah Dabil, Allah mengutus sepasang burung gagak berbicara kepadanya. Dua ekor burung gagak turun ke bumi, berkelahi hingga salah satu diantaranya mati. Burung yang masih hidup tersebut kemudian mematuk-matuk tanah dengan paruhnya, menciptakan lubang, dan memasukkan jenazah burung yang mati ke dalam lubang tersebut. Dengan bahasanya, burung gagak tersebut mengajarkan kepada Kabil bagaimana cara mengubur saudaranya. Betapa besar kuasa Allah sebagaimana ia firmankan dalam Al Qur’an:

… Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. Az-Zumar:42)

Di bawah langit yang mulai memanggulkan samar, sebuah ombak kembali terkirim datang menemani pantai menyambut malam menjelang. Petang sudah melambai. Tak jua ada jawab alam yang sanggup aku baca. Badai bingung masih saja bergemuruh dalam laut hatiku. Aku tatap jam tangan di pergelangan tanganku: 17.45. Sebentar lagi waktu Magrib tiba. Tak ingin terlewat waktu Magrib, aku memutuskan untuk pulang. Biarlah nanti aku bersilaturahmi menemui kang Radjimo saja. Meminta pendapatnya. Berharap kea-rifannya dapat menjernihkan pikiranku, mencari jawab atas kepasrahan Nadia.

Sebelum menyisir jalan pulang, aku rambatkan pandanganku merayapi pohon Akasia. Dalam udara yang mulai menanggungkan pekat gelap, mataku nanar mencari larit kulit kayu yang menyimpan nama kami. Beberapa lama tersesat dalam baris tak beraturan lautan pasang nama, sebuah senyum mengembang juga. Di sana, di dahan pertama yang menjulur ke arah laut, di antara tumpukan pasang nama yang tercoreng dalam aneka bentuknya, masih aku lihat tulisan itu erat memeluk kulit Akasia, terbungkus oleh sebuah gambar daun pohon waru simbol cinta: Candra loves Nadia. Tak ada yang berubah dari tulisan itu. Hanya warnanya yang agak memudar seiring dengan usia Akasia yang semakin menua. []

11:08 PM

Mengaji di bulan Suci..

Pada awalnya adalah sebuah niat...

Beruas bulan lalu, aku niatkan akan berbagi cerita di bulan Ramadhan ini. Bukan cerita yang sekadar berserak dalam serpihan kata tak berbalut 'raga', tetapi cerita yang telah dibalut dalam lekuk indah ragawi sebuah produk berlabel 'novel'. Akan tetapi, ternyata kuasa berkata lain.

Kesibukan untuk menyelesaikan buku politik, membuat 'raga' novel itu tak kunjung lahir hingga Ramadhan telah mengucap salam datang.

Kompromi pun dilakukan. Masih dengan niatan untuk berbagi, mengaji bersama di bulan suci ini, raga novel untuk sementara meminjam jasad blog.

Silahkan menikmati kuyup memoar ini. Semoga kucuran kata yang mengalir, bermanfaat untuk membasuh jiwa kita.

Selamat berpuasa. Mari membaca bersama. Mari mengaji bersama.

Salam..